Mengenal Luka dan Beda
Oleh
: Silvi Yani
XI
Tkj- A
Kelahiran seoarang anak adalah hal
yang ditunggu-tunggu oleh setiap orangtua, namun tidak bagiku. Menurut ibuku kehadiranku didunia
adalah sebuah bencana yang merenggut kebahagiaan serta jatuh pada kesengsaraan
yang menjadi titik awal dimana aku terlihat berbeda dan merasakan luka dari
setiap dan perlakuan yang aku terima.
Jam berdetak dan berdering
menunjukkan waktu pukul 06.30 “Sial, aku telat” aku mengerjap dan terbangun
melihat jam, adan buru-buru untuk siap-siap pergi kesekolah. Aku memang sudah
biasa bangun sendiri tak seperti anak remaja yang lain yang selalu dibangunkan
ibunya ketika mau berangkat sekolah. Melihat kehebohan yang buat tanpa aku
sadari ibu sudah berada dibalik pintu dan berkata dengan sinis “Makanya, kalo
bangun itu pagi. Jadi ga akan repot dan
rusuh kaya gini kan??” Aku langsung respon
“Ibu... Aryanti telat karena Aryanti tidur larut untuk mengerjakan
pekerjaan rumah dan pekerjaan sekolah !” “Siapa suruh sekolah ?” tegas Ibu.
Bukannya mendapat sarapan yang enak karna telat, tapi pagi aku sudah mendapat
kata-kata bengis dari Ibu. Dan aku hanya bisa menatap sejenak kearah ibu serta
melihat jam sambil langsung menyerobot tangan ibu untuk menciumnya sejenak sambil berkata "Aryanti berangkat Bu,
Assalama’alaikum”. Berbeda juga dengan anak yang lain jika seorang anak pergi
kesekolah mendapat senyum dan doa tapi aku hanya bisa mendapatkan tatapan tajam
yang menusuk. Dengan hati yang sedikit kabut aku pergi melangkah untuk menuntut
ilmu dengan setengah berlari untuk
menunggu bus karna 20 menit lagi
kira-kira gerbang sekolah ditutup.
Soal ibuku yang tadi, aku sudah
biasa dengan sikap dingin yang Ibu berikan padaku dan ini juga merupakan
rutinitas yang aku jalani dalam kehidupanku sebenarnya ini menimbulkan luka
dihatiku yang cukup besar serta menghadirkan seribu tanya didalam otakku
“Kenapa aku dilahirkan?” “Kenapa Ibuku berbeda dengan ibu yang lain” “Kenapa Hidupku seperti ini?”
blablabla.. tapi satu yang selalu membuatku termotivasi yaitu “senyum
dimanapun, kapanpun jika merasa sedih.”
Namaku Aryanti Oktaviani dianggil
Aryanti aku duduk bangku SMA Negeri di Jakarta kelas XI-IPA 2. Kecintaan ku
terhada ilmu pengetahuan dan alam membawaku untuk sekolah disini “Akhirnya,
busnya datang” aku melangkah masuk kedalam bus menerobos pintu bus yang lumayan
cukup padat untuk ukuran jam segini. Karena aku kesiangan aku tidak kebagian
tempat duduk dan terpaksa harus berdiri menahan aroma bau sana-sini. Yang
paling aku kesal ketika supir bus terkadang menggunakan rem dadakan dan efeknya
aku sering jadi korban sinetron, jika disinetron supir menggunakan rem dadakan
sicewek jatuh ke pelukan cowok aku malah tersungngekur dan tak jarang aku
melihat pemandangan yang bisa dibilang indah yaitu seorang ibu memeluk atapun
mengelus anaknya setulus hatinya dan sering aku iri kapan yah bisa seperti itu,
tapi aku selalu berharap suatu hari nanti ibuku seperti itu dan menyayangiku
layaknya anak yang diinginkan, meskipun ibuku punya karater tersendiri aku
tetap yakin didalam benaknya dia masih menyayangiku. Buktinya, setelah Ayahku pergi dan entah kembali
semenjak aku lahir serta meninggalkan hutang sana-sini ibulah yang membayar
semua hutang Ayah hingga hartanya habis dan ibu jatuh miskin tapi beliau masih mau banting tulang untuk
membiayaiku sekolah dan mencaukupi kebutuhan hidupku, meski aku harus mencari
sebagian biaya untuk sekolah ini.
Aku memang anak tunggal, tapi tidak
dimanja seperti anak tunggal yang lain. Sepulang sekolah biasanya aku pergi ke
warung nasi jarak antara rumah dan warung nasi ini cukup dekat karena kita
tetanggaan, aku bekerja sebisa mungkin seperti mencuci piring, beres-beres, dan
memberikan makanan kepada pemesan. Aku seperti ini sebenernya lelah setiap kali
aku diajak main oleh teman-temanku aku tak bisa karana harus mendapat uang yang
ala kadar nya segitu juga sudah cukup, Allhamdulillah. Sedikit demi sedikit aku
kumpulkan uang dari pemberian Ibu Ati pemilik warung nasi itu untuk meringankan
beban ibu.
Sudah hampir sampai sekolah
“Berhenti Pak.. !! “ Aku turun dari dalam bus ditemani asap knalpot bus yang
masih mengepul setengah berlari aku hendak memasuki gerbang “Untungnya gerbang
masih dibuka jadi gak bakalan kena hukum deh” Aku berkata dalam hati sambil
tersenyum sampai aku teringat sesuatu
senyuman itu memudar teringat sesuatu “Ya Ampun aku lupa, jika hari ini adalah
pelajaran Ibu Resty, Guru Kimia yang killer!!” kali ini aku benar-benar berlari
memasuki lorong sekolah dengan bermodal kebiasaanku yang ceroboh segala macam barang aku tabrak dan terpental
kali ini aku tak sengaja menendang ember kosong dan terpental hingga nyangkut
kekapala Pak Ade Si penjaga Sekolah yang sedang menyiram tanaman“Woy..
hati-hati dong” suara pak ade yang nyerocos membuatku tidak bisa menahan tawa
karena dia berbicara didalam ember apa kupingnya tidak pengang. Karena aku
sibuk melihat kebelakang takut-takut ketahuan Pak Ade aku jadi tidak melihat
kedepan aku kembali menabrak sesuatu tapi kali ini berbeda justru kali ini aku
yang terpental ke sudut tembok yang aku tabrak ternyata bukan barang melainkan
orang dengan reflek aku berkata “Aww, sakit..” sembari melihat sikutku yang
sedikit memar karena terpental ketembok. “Sorry..sorry gue sengaja” ketika aku
sedang sibuk membersihkan debu dibajuku tiba-tiba sebuah tangan terayun “Sini
gue bantu” dengan ekspresi kesal sambil memegang tangannya aku berkata
“Makanya, kalo jalan tuh..” belum sempat aku meneruskan kata-kataku aku malah
terpesona karana yang dihadapan ku kali ini adalah cowok keren, tinggi, putih
dengan wangi parfum papermint yang khas. “Sorry, gue ga sengaja. Oh, iya tangan
lo luka yah?” Kata-kata yang dia ucapkan cukup membuatku terhipnotis dengan
kegantengannya belum sempat aku jawab iya dia mengeluarkan plester dan
memasangkannya tepat diluka sikutnya, sementara dia sibuk memasangkan plster
dilukaku, tapi aku malah sibuk memperhatkan wajah cowok ganteng itu. Ok aku
bakalan ganti kata “gantengnya” tapi suara bel menyadarkanku dan membuatku
kembali terbangun dari hipnotis dadakan ini “Gue telat, sorry gue buru-buru”
dengan senyuman senang aku berlar\ri untuk memasuki ruangan kelas takut-takut
Ibu Resty sudah memasuki kelas duluan, cowok itu pun juga pergi dengan senyuman
khasnya dan melangkah pergi.
Untung saja, Ibu Resty belum masuk
jadi aku bebas dari hukuman dan cepat-cepat menyambar kursi “Nah loh, hampir
telat lagi kan. Apa gue bilang?” celetuk dari arah samping bangku yang
kududuki. Itu adalah salah satu temanku namanya Lina “Lo habis ngapain sih
Yan?” dengan nafas terengah-engah aku memaksakan untuk menjawab “lo tau kan,
rotunitas gue lin, masa gue harus ceritain sama lo lagi” “Ya, gue tau. Tapi lo kan bisa
minta bantuan gue, jadi lo ga akan ribet lagi” kata lina. “Lin, gue gak mau ngerepotin lo, lo
udah mau jadi teman gue terus udah mau mencoba bantuin gue secara ikhlas gue udah seneng.. banget”
bukannya mendapat keterharuan tapi malah pipiku yang menjadi sasaran Lina untuk
dicubit dia beralasan jika pipiku empuk untuk dicubit.
Bel berbunyi tanda pelajaran hari
ini telah usai dan dilanjutkan besok. Aku segera merapikan buku dan alat
tulisku sambil buru-buru “Lin, gue duluan yah. Gue buru-buru banget mau
keperpustakaan dulu soalnya gue mau ngerjain tugas dari Ibu Resty yang tadi
mumpung waktu nya lagi kosong” “Loh, lo ga akan bareng sama gue,
Please?” bujuk Lina tak menggentarkan ku untuk membatalkan pergi keperpus
“Sorry, Lin hari ini bener-bener ga bisa” “Yaudah, tapi hati-hati yah gue pulang
duluan maaf gue ga bisa nemenin lo” muka polos dan tatapan menyedihkan Lina
hanya membuatku tersenyum mengangguk.
Kedatanganku keperpustakaan disambut
ribuan buku yang harus aku cari salah satunya, hampir 15 menit aku mencari tapi aku belum menemukan
buku itu, hanya buku-buku lapuk dan berdebu yang kebanyakan aku lihat sampai akhirnya
aku menemukan buku itu yang letaknya dipojok rak atas dekat lorong pojok.
Dengan perasaan senang aku bersorak “Nah.. buku itu yang aku cari dari tadi”
karena letaknya diatas aku mencoba mengambilnya dengan cara sebisa mungkin
yaitu melompat-lompat tapi aku tak bisa menggapai buku itu hingga akhirnya aku
pasrah dan mulai kesal disertai keringat yang bercucuran dan nafas yang
terengah-engah. “Mau gue ambilin?” suara itu persis seperti orang yang
menabrakku tadi pagi. Aku terbangun dan melihat cowok itu melihat balik ke arahku “Lo lagi?” aku terkaget karena memang
benar itu dia, dengan sigapnya dengan mudah ia mengambil buku itu aku berdecis
seperti iklan susu saja. “Terima Kasih” ucapku sebagai hadiahnya karena hanya
itu yang bisa aku berikan kasian sekali aku ini. “Sama-sama” balas cowok itu,
sembari tersenyum dan aku meneruskan kata-kataku “Maaf yang tadi gue buru-buru
jadi gue ga sengaja nabrak lo” “Gak, ko gue yang salah tadi gue ga
sempet menghindar” aku mengangguk senyum “Gue Kevin, gue anak baru disini
pindahan dari Bali dan lo?” “Gue Aryanti kelas XI-IPA 2, lo
kelas berapa? “Gue kelas XI IPS 1” Kita
bercengkrama cukup banyak setelah pulang bareng dari perpustakaan itu tak hanya
itu, tabrakan yang terjadi saat tadi pagi menjadi titik awal kedekatanku dengan
kevin.
Karena warung nasi tempat aku
bekerja sambilan sepi, mau tak mau aku
harus mencari pekerjaan lain karena upah dari warung nasi ini belum cukup
apalagi sepi kaya gini, “Maaf ya Yanti, Ibu belum bisa banyak membantu kamu”
ditengah sepi, Ibu Ati memulai perbincangan. “Tidak papa Bu, justru harusnya
Yanti juga harusnya berterima kasih kepada Ibu karena Ibu sering membantu dan
Yanti sering merepotkan Ibu”
“Ibu tidak merasa tdirepotkan, karena
Ibu sudah menganggap kamu sebagai anak Ibu sendiri” Aku tersenyum
sambil memeluk Ibu Ati dan berbisik didalam hati “Kapan yah Ibuku sendiri
memelukku seperti ini” Lalu ditengah senangnya dipeluk oleh Ibu meski bukan Ibu
sendiri muncul satu ide di otakku seperti bohlam yang menyala “Ibu, disekolah
kan warung nasinya terbatas lagi pula anak-anak kadang suka malas ke kantin,
kenapa kita ga coba jualan nasi bungkus aja Bu?” “Jualan
Nasi bungkus???” Ibu Ati nampak heran. “Iya, Ibu yang bungkusin nasinya
nanti Yanti yang jual, tenang Bu pasti
Yanti membantu membungkus nasinya jadi Ibu masih ada penghasilan lebih kan?” “Tapi, apa bakalan laku Yan?” “Ibu tenang aja, kita coba terlebih
dahulu tanpa mencoba kita tak mungkin tahu hasilnya kan? Lagi pula rezeki sudah
diatur oleh Alloh SWT.” Ibu Ati kembali
memelukku, wajah muram yang tadi aku lihat kini berubah menjadi sumeringah dan
semangat kembali “Aku tak boleh mengecewakan Ibu
Ati, ga boleh aku harus berusaha” aku berbisik dalam hati. “Jadi, mau kapan kamu jualan nasi bungkus
disekolahnya?” “Secepatnya Bu, mulai dari besok juga tak apa
jadi Yanti kerumah Ibu bisa lebih pagi sebelum berangkat sekolah” “Yasudah, jika itu mau kamu, ibu tunggu
besok yah” Aku tersenyum melihat orang didekatku bisa bahagia mesku pun bantuan
ku belum seberapa.
Besok paginya, setelah sholat
shubuh aku sudah bersiap-siap kerumah Ibu Ati dengan setelan sekolah supaya aku
bisa langsung berangkat ke Sekolah setelah selesai membantu Ibu Ati, karena aku
bangun pagi sekali Ibuku sendiri malah tampak keheranan melihat aku bangun pagi
buta kaya gini. “Kamu mau kemana pagi-pagi sudah berangkat?” “Aku mau kerumah Ibu Ati dulu Bu, soalnya ada
bisnis kecil-kecilan” jawaban dariku hanya membuat Ibu menggangguk karena rasa
kepo nya sudah terobati. Setelah berpamitan aku melangkah keluar rumah tak berapa lama aku sampai dirumah Ibu Ati aku
pun langsung mengetuk pintu “Asslamu’alaikum..” tak berapa lama terdengar suara
jawaban “Wa’alaikumsalam” ternyata yang membuka pintu
adalah suami Ibu Ati, yaitu Pak Soleh tidak kalah ramah dan baiknya seperti Ibu
Ati. “Eh, Yanti silahkan masuk Ibu sudah menunggu” “Iya,
Pak. Terima kasih” setelah masuk aku langsung membantu Ibu Ati membungkus
nasinya serta lauk pauknya. “Oh, iya Bu. Yanti jual berapa Bu per bungkusnya. “Dari
Ibu, harga per bungkus nya Rp. 5000,00 tapi sama Yanti jualnya Rp. 7000 aja
yah? Ibu sudah siapkan sarapan untuk
kamu Yan, Ibu taruh diatas meja makan, dimakan yah?” “Iya Bu” tanpa bertanya banyak aku sudah
mengerti jadi upahku dari setiap bungkus mendapat Rp. 2000, 00. Akhirnya proses
pembungkusan nasi selesai karena prosesnya di bantu juga oleh Pak Soleh tak
lupa aku juga menghabiskan sarapan yang dibuat Ibu Ati setelah berpamitan untuk
pergi ke Sekolah dan tak lupa meminta doa aku melangkah pergi meninggalkan
senyuman dari orangtua keduaku ini.
Seperti biasa, aku menunggu Bus
di halte. Tak berapa lama Bus pun datang, karena masih pagi jadi didalam Bus
belum ada orang banyak aku pun melangkah masuk tanpa memperhatikan tempat duduk
yang aku duduki karena aku membawa beban yaitu sekeresek nasi bungkus yang
cukup membuat sebagian tenagaku terkuras aku langsung duduk ditempat duduk yang
satu bangkunya sudah terisi oleh pemuda sekolah seperti ku, mukanya tidak
terlalu terlihat karena kepalanya melihat kearah jendela. Dengan nafas
terengah-engah akhirnya aku duduk. “Aryanti? Tiba-tiba ada yang memanggilku,
aku mencari sumber suara itu. “Kamu? Ko kamu lagi sih,” aku kaget setengah mati,
karena Kevin pemuda yang menabrakku kemarin berada di samping tempat yang aku
duduki. Dengan senyman khas nya dia bertanya “Kamu, bawa apaan?”
“Apa? Oh ini? Ini daganganku” “Kamu jualan disekolah?”
“Ya begitulah” Dia hanya mengangguk kecil, disertai Oh nya itu. Bus akhirnya
sampai ditempat yang biasa aku turun kali ini berbeda karena aku ditemani
Kevin. Meski pun tak sengaja kita bertemu di bus, melihat aku bersusah payah
turun dari bus mengangkat beban nasi
bungkus tanpa berkata apapun Kevin langsung menyerobot mengambil alih
mengangkat beban nasi bungkus itu spontan aku kaget “Heh, mau dikemanakan? Itu berat
hayo, sini aku saja yang bawa” “Kamu itu cewek, masa bawa-bawa beban
berat kaya gini” “Gak berat ko, kamu saja yang alay”
“Aku antar kamu sampai kelas yah?” “Hah??”
langkahku terhenti mendengar kata itu “Udah, ayo cepet”. “Ya, Alloh. Orang ini baik sekali terima
kasih Ya Alloh sudah menghadirkan teman seperti Dia” Bisikku didalam hati
sambil sesekali curi pandang sambil tersenyum.
Kevin tak bohong, benar saja dia
mengantarku sampai pintu kelas “Nih, dagangannya. Semangat ya jualannya” “Iya, terima kasih yah maaf udah ngerepotin”
“Engga ko, Gue kekelas dulu yah” Aku
mengangguk kecil tak percaya, seolah dia seperti malaikat saja. Aku pun masuk
keruang kelas ternyata kelas sudah ramai tanpa banyak berfikir aku menawarkan
daganganku ke semua teman-teman ku di kelas ternyata benar saja kebanyakan dari mereka jarang sarapan dirumah daganganku
langsung ludes. Alhamdulillah.
Seiring berjalannya waktu, Life
is never Flat. Kedekatanku dengan kevin tidak hanya sebagai teman biasa namun hubungan
kami lebih dari itu 1 bulan dari kedekatan kita Kevin menyatakan perasaannya
padaku singkatnya kita pacaran. Lina pun tau karena aku sering menceritakan itu
kepada Lina. Banyak kesamaan antara Kevin dan aku, kita sama-sama suka musik
Pop.
Setelah hubungan ini berjalan 3
bulan, Kevin mengajakku untuk berkenalan dengan orang tuanya. Aku tau aku dan
Kevin berbeda keyakinan tapi kita saling menghargai dan bertoleransi akan hal
itu. Malam itu akhirnya tiba,sebenernya aku tak berfikir sejauh ini tapi
perasaan ku tidak enak tapi aku memaksakan untuk pergi karena menghargai tawaran
dari Kevin. Aku pun tiba disebuah rumah, nampak sebuah rumah bercat putih bak
mirip istana yang sangat luas aku singgahi. Setelah masuk, bertemu dengan orang
tua Kevin dan dipersilahkan duduk aku sedikit bercengkrama dengan ibunya Kevin,
ibu Kevin terlihat begitu ramah “Oh, ini yang namanya Aryanti” aku mengangguk
tersenyum hatiku lega ternyata aku diterima dikeluarga ini namun berbeda dengan Ayah Kevin justru beliau
banyak menyakan tentang bebet, bobot keluargaku tanpa merasa curiga aku
menjawabnya dengan jujur. Ayah Kevin memanggil Kevin untuk berbicara
kebelakang. Awalnya aku mengira Ayahnya akan membicarakan hal diluar tentang
aku. Namun perdebatan yang mereka lakukan membuat telingaku mendengar kata-kata yang
sebenarnya tak ingin aku dengar “Kamu tidak pantas mencintai Dia, Dengarkan
Ayah !! Dia sungguh sangat berbeda dengan kita carilah seseorang yang sama
keyakinannya dengan kita”
Aku tak sanggup lagi mendengar
kata-kata itu lagi, aku berpamitan pulang kepada Ibu Kevin dengan nada setengah
menangis “Maaf Bu, jika kedatanganku menganggu di keluarga ini.Sebenernya aku
melihat tanda tak tega dimata Ibu Kevin tapi beliau juga tak bisa berbuat
apa-apa. Aku berlari keluar rumah dengan hujan yang cukup deras.
Aku berlari, terus lari sambil
menangis tak henti dan tak perduli suara Kevin memanggilku. Aku terhenti dan berkata “Hatiku sakit sekali
Tuhan, kenapa aku dilahirkan berbeda dengan yang lain, Aku cinta Dia hanya dia
yang bisa membuatku tersenyum saat Ibuku memperlakukan ku speperti ini tapi
sekrang justru senyuman itu berubah menjadi luka yang menganga dihatiku entah
sampai kapan luka itu sembuh dengan sendirinya”
“Aryanti..” Kevin memelukku
dengan erat saat hujan turun dengan
lumayan deras “Maafkan atas perlakuan dan sikap kedua orang tuaku” “Harusnya aku sadar aku siapa Kevin, bahwa
aku tidak pantas untuk kamu cintai perbedaan kita seperti langit dan bumi” aku
berkata terbata-bata sambil melepas
pelukan itu. “tapi, aku cinta, aku sayang kamu Yanti.. hanya kamu yang bisa
memberikan arti kesederhanaan dan kerja keras dalam hidup” jawab hidup.
“Aku untuk kamu.. kamu untuk aku,
namun semua apa iman kita yang berbeda. Tuham memang satu kita yang tak sama
haruskah aku lekas pergi meski cinta tak kan bisa pergi” aku menyanyikan sebuah
lagu sambil mengusap air hujan yang membasahi rambut Kevin dan tak terasa air
mataku menitik jatuh tak tertahankan Kevin segera mengusap air mataku yang
jatuh sambil menyanyikan balasan lagu yang aku nyanyikan.
“Oh.. cintaku kumau tetap kamu
menjadi kekasihku jangan pernah berubah.. selamanya kan kujaga dirimu seperti
kapas putih dihatiku tak kan kubuat noda” Lagu yang Kevin nyanyikan adalah lagu
yang dibawakan oleh penyanyi yang
sama-sama kita sukai. Hujan pun reda
Kevin dengan terseyum dia berkata “Perbedaan diantara kita bagaikan tembok yang
sangat besar maka kita harus hanvurkan tembok itu agar kita bisa bersatu, mulai
dari sekarang ajari aku Islam”
Aku kaget dengan kata-kata yang
diucapkan Kevin sekaligus menghadirkan tangisan haru karena dia ingin menjadi
mu’alaf dan ingin mengenal agamaku aku sangat senang kini aku yang memeluk
Kevin dengan erat. Malam itu adalah malam yang sangat bersejarah meski aku
harus merasakan luka yang amat sakit tapi aku tetap yakin Tuhan adil dalam menghiburku.